Minggu, 21 Oktober 2012

Aksesoris dari Sisik Ikan

Sering kali sisik ikan hanya dilihat sebagai limbah dan dibuang begitu saja. Namun, di tangan Theodora de Lima, limbah itu disulap menjadi barang yang indah dan bernilai jual. Limbah itu pun berubah menjadi salah satu ikon Maluku yang dikenal hingga luar negeri. 

Beragam kreasi berbahan baku sisik ikan ini terlihat di salah satu sudut ruang tamu di rumah Theodora di perumahan BTN, Wayame, Ambon.

sisik_ikanAda gelang, kalung, anting, bunga, pigura foto dan hiasan baju. Warnanya tidak hanya putih, yang merupakan warna asli sisik ikan kakap merah, tetapi juga ada yang berwarna hijau, merah muda, dan kuning. Ukurannya pun beragam, dari yang kecil seperti yang digunakan pada anting sampai yang besar untuk hiasan di baju. Beragam produk ini dijual dengan harga mulai Rp 25.000.

Theodora memulai usahanya tanpa sengaja pada tahun 2004. Semula dia ingin membuat produk fish and chips dari ikan kakap merah. ”Setiap kali mengolah ikan kakap merah, sisiknya harus dibersihkan. Setelah itu, sisik dibuang begitu saja,” katanya.

Padahal, pengajar di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Pattimura, Ambon, ini sadar betul bahwa sisik ikan mengandung logam berat, yang akan mencemari lingkungan jika tidak diolah.

Dia kemudian mengumpulkan sisik ikan itu. Setelah beberapa hari didiamkan di plastik, Theodora kembali melihatnya. Saat itulah dia sadar bahwa di setiap sisik terlihat kontur menarik berupa garis-garis lurus yang teratur.

”Saya mencoba merendam sisik dengan air detergen untuk membersihkan sisik sekaligus menghilangkan bau amis lalu menjemurnya,” katanya.

Ide mengembangkan sisik ikan menjadi kerajinan tangan baru muncul setelah dia membeli kancing bantal yang terbuat dari tempurung kelapa di Yogyakarta. ”Tiba-tiba muncul ide untuk membuat sisik ikan menjadi bunga dan kancing dari tempurung kelapa menjadi dasarnya,” tuturnya.

Mulailah dia berkreasi. Satu per satu sisik ikan ditempel di atas kancing hingga menyerupai bunga. Setelah membuat 50 tangkai dan dijadikan satu buket, dia menawarkan kepada temannya. Tak dinyana, banyak yang tertarik.

Dia pun mencoba berkreasi lagi. Dia mencoba mewarnai bunganya itu. Dia tak menggunakan cat atau pewarna kimia lainnya, tetapi menggunakan dedaunan, sayuran, dan kayu agar warna tahan lama.

Akhir tahun 2004, Theodora mengikuti pameran. Hasilnya memuaskan. Dia berhasil menjual 40 buket. Harga setiap buket Rp 500.000.

Minat pasar yang besar membuat dia semakin bersemangat untuk berkreasi dengan sisik ikan. Ibu dua anak ini mengolahnya jadi kalung, gelang, dan anting. Selain itu, dia juga menempelkannya pada pigura foto dan lukisan serta tempat tisu.

Tahun 2005, kreasinya kian beragam setelah sisik ikan dia tempelkan menjadi hiasan di baju dan pakaian tradisional Ambon, yang disebut cele. Adanya sisik ikan seakan menambah kuat kesan tradisional dari pakaian cele.

Meski pola pemasaran produknya masih terbilang tradisional, hanya dari mulut ke mulut, hal itu tidak mengurangi pamor kerajinan yang dia buat. Setiap kali pameran kerajinan tangan digelar di Maluku, di luar Maluku, bahkan di Belanda, pemerintah sering melibatkan Theodora. Sisik ikan yang semula dipandang hanya sebagai limbah itu berubah menjadi salah satu ikon kerajinan tangan Maluku.

Pakaian yang dihiasi sisik ikan karyanya bahkan pernah digunakan Putri Indonesia perwakilan dari Maluku, Citra Mailoa, tahun 2009.

Tidak sedikit pembeli dari luar negeri, seperti Belanda, Australia, dan Hongkong, yang datang langsung ke kediamannya untuk memborong kerajinan sisik ikan.

Bagi Theodora, produk kerajinan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. Dari bunga saja, misalnya, setiap tahun bisa terjual lebih dari 40 buket. Setiap buket yang berisi 50 tangkai berharga Rp 500.000.

Dari penghasilan tersebut, dia menyekolahkan kedua anaknya. Selain itu, penghasilannya juga dia belikan rumah dan lahan di pinggir jalan raya di Wayame, yang rencananya dijadikan galeri berbagai kerajinan tangan dari sisik ikan miliknya.

Meski demikian, Theodora tidak ingin menikmati kesuksesannya sendiri. Melihat besarnya potensi dari mengolah sisik ikan, dia mengajarkan cara mengolah sisik ikan menjadi produk kerajinan tangan di sejumlah sekolah di Ambon. Bahkan, sejumlah sekolah menjadikan cara pengolahan ini menjadi salah satu mata pelajaran—muatan lokal.

Selain itu, Theodora juga berencana membuat buku tentang pengolahan sisik ikan. ”Saya ingin semua orang bisa melakukan yang saya lakukan,” kata perempuan yang membuat tesis soal pengolahan sisik ikan ini.

Tak sebatas itu, dia juga mengajari mahasiswanya untuk mengolah sisik ikan. Tiga mahasiswanya bisa lulus menjadi sarjana dengan uang yang diperoleh dari hasil kerajinan sisik ikan yang mereka olah dan jual sendiri.

Kini, meski pamor sisik ikannya kian berkembang, Theodora tidak meninggalkan usahanya semula, membuat bermacam makanan dari ikan dan sagu. Setiap hari dia masih membuat daging ikan kakap merah dan kentang untuk dijadikan fish and chips, pizza tuna yang terbuat dari bahan ikan tuna dan sagu sebagai rotinya, abon tuna, serta berbagai jenis makanan lain.

Setiap hari, Theodora bisa menjual sekitar 50 porsi makanan yang harganya berkisar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per porsi tersebut. Dia pun memasarkannya sendiri bersama sejumlah aksesori dari sisik ikan yang dia buat. ”Kalau keluar dari rumah, tidak dengan tangan kosong,” ujarnya.

Theodora muda sejatinya tidak pernah suka mengolah ikan karena bau amisnya. Selepas sekolah menengah atas, dia bersikeras ingin masuk Institut Kesenian Jakarta untuk menyalurkan kecintaannya pada puisi dan drama.

Kehendak ayahnya membuat dia mengambil Jurusan Teknologi Hasil Perikanan di Universitas Pattimura hingga akhirnya dia jatuh cinta akan ikan, termasuk bau amisnya.

”Semua yang saya lakukan sekarang merupakan bentuk pertanggungjawaban saya atas talenta yang diberikan Tuhan,” katanya. (*/Kompas Cetak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar