Oleh Marmi Hidayah (Vista) | Ramadan Mubarak – Kam, 2 Agu 2012
Puluhan satuan polisi pamong praja, petugas keamanan berseragam milik Pemkot Serang, Banten, minggu lalu menggerebek rumah makan yang buka siang hari. Mereka diminta menutup rumah makan, buat yang menolak terancam dicabut izin usahanya.
Seorang pelayan yang restorannya dipaksa tutup, mengaku setiap puasa Ramadan biasanya selalu buka. Maklum, di kawasan Kaligadu, pelanggan tak pernah sepi karena banyak juga warga non-muslim. “Untuk menghargai warga muslim yang sedang beribadah, kami menggunakan penutup. Tapi kalau ada warga muslim makan ke sini, kami tidak enak menolaknya,” lanjut pelayan di sana.
Peristiwa serupa juga terjadi di kota lain. Di Sumatera Barat, Cilegon, Banten dan Bandung banyak pengusaha makanan menerima ancaman senada oleh organisasi massa tertentu. Menurut K.H. Sukana, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iksan Al Mubarokkah (Pondok Pesantren Eksekutif) Bandung, Jawa Barat, sikap memaksa seperti itu kini mulai mengarah ke sikap anarkis. “Ini berpotensi merusak citra masayarakat muslim lantaran dianggap tidak mampu menahan diri untuk bertoleransi terhadap mereka yang berbeda agama,” tegasnya.
“Saya pribadi tidak setuju tindakan sweeping, apalagi dilakukan secara anarkis. Dalam arti jangan menzalimi atau merugikan dunia usaha meski dalam pelaksanaannya telah melanggar aturan pemerintah,” jelas Sukana, yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam Institut Manajemen Telkom di Bandung.
Aksi anarkisme hanya akan merusak citra umat muslim, dan bisa menimbulkan kesan masyarakat Muslim yang tidak bisa menahan diri dan tak bertoleransi. “Padahal, Islam adalah agama perdamaian.” tutur Sukana.
“Arti Islam itu sendiri adalah untuk keselamatan dirinya, menyelamatkan orang lain, tunduk, patuh dan berserah diri. Jadi arti islam harus dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta berbangsa,” tambahnya lagi.
Selain menghimbau agar umat Islam bertoleransi pada mereka yang tidak berpuasa, Sukana juga mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam penerapan aturan. Jika memang melarang tempat hiburan buka siang hari misalnya, aturan itu harus ditegakkan. Bila peraturannya jelas, maka takkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bukan mustahil, lanjutnya lagi, upaya menutup restoran secara paksa atau sweeping terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang hanya membuat aturan sebatas jam operasional tempat hiburan. Sebab, pelaksanaannya di lapangan tidak dijalankan secara konsisten.
“Akibatnya timbul ketidakpercayaan, kemudian ada kelompok masyarakat yang beraksi sendiri,” ujarnya. Namun Sukana menegaskan, dia tetap tidak mendukung sikap anarkis.
Menurut dia, yang seharusnya terjadi adalah, pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat maupun organisasi massa sebatas pendorong agar menerapkan aturan yang sudah dibuat. Sebaiknya rangkul masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap penegakan aturan selama Ramadan, sehingga semuanya terkontrol.
Secara terpisah, Pendeta Mori Sihombing, Praeses Distrik VIII HKBP mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen. Karena itu, dia mengharapkan agar ada saling menghargai serta toleransi antarumat beragama.
Termasuk pada Ramadan ini. Dia menyarankan agar masyarakat non muslim pun menghargai hak-hak masyarakat muslim untuk berpuasa. “Hendaknya toleransi ditunjukkan dengan tidak makan minum di tempat umum. Ketika mereka bertandang ke tempat kita, jangan suguhkan makanan dan minuman karena mereka sedang menjalankan ibadah puasa,” ujarnya lagi.
Selain itu, menurut Mori dalam melakukan komunikasi di mana pun janganlah mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan. “Kita harus ikut menjaga hati saudara-saudara kita untuk bisa menjalankan puasa dengan tenang. Jangan sampai kita melukai hati orang,” katanya.
Sejalan dengan itu, Pendeta Mori juga mengharapkan agar umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa bisa menghargai pemeluk agama lain. “Ini diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk ikut tidak makan dan minum, hanya karena mereka sedang berpuasa,” jelasnya.
Karena itu, terkait dengan upaya penutupan paksa restoran misalnya, dia minta agar pemerintah melindungi hak-hak masyarakat termasuk pengusaha. “Harus dilihat pula nasib para pegawainya. Dari mana mereka mendapat gaji bila usahanya ditutup.” tambahnya.
Jadi pada intinya, sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam bersosialisasi di lingkungan kehidupan masyarakat yang heterogen ini. Di antaranya dengan tidak menghentikan usaha masyarakat seperti penutupan paksa tempat makan. Sebab masih banyak masyarakat lain yang membutuhkan tempat usaha tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen Untung S. Rajab telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap tempat hiburan yang melanggar jam operasional. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak perlu, karena sudah dipantau oleh polisi.
Seorang pelayan yang restorannya dipaksa tutup, mengaku setiap puasa Ramadan biasanya selalu buka. Maklum, di kawasan Kaligadu, pelanggan tak pernah sepi karena banyak juga warga non-muslim. “Untuk menghargai warga muslim yang sedang beribadah, kami menggunakan penutup. Tapi kalau ada warga muslim makan ke sini, kami tidak enak menolaknya,” lanjut pelayan di sana.
Peristiwa serupa juga terjadi di kota lain. Di Sumatera Barat, Cilegon, Banten dan Bandung banyak pengusaha makanan menerima ancaman senada oleh organisasi massa tertentu. Menurut K.H. Sukana, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iksan Al Mubarokkah (Pondok Pesantren Eksekutif) Bandung, Jawa Barat, sikap memaksa seperti itu kini mulai mengarah ke sikap anarkis. “Ini berpotensi merusak citra masayarakat muslim lantaran dianggap tidak mampu menahan diri untuk bertoleransi terhadap mereka yang berbeda agama,” tegasnya.
“Saya pribadi tidak setuju tindakan sweeping, apalagi dilakukan secara anarkis. Dalam arti jangan menzalimi atau merugikan dunia usaha meski dalam pelaksanaannya telah melanggar aturan pemerintah,” jelas Sukana, yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam Institut Manajemen Telkom di Bandung.
Aksi anarkisme hanya akan merusak citra umat muslim, dan bisa menimbulkan kesan masyarakat Muslim yang tidak bisa menahan diri dan tak bertoleransi. “Padahal, Islam adalah agama perdamaian.” tutur Sukana.
“Arti Islam itu sendiri adalah untuk keselamatan dirinya, menyelamatkan orang lain, tunduk, patuh dan berserah diri. Jadi arti islam harus dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta berbangsa,” tambahnya lagi.
Selain menghimbau agar umat Islam bertoleransi pada mereka yang tidak berpuasa, Sukana juga mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam penerapan aturan. Jika memang melarang tempat hiburan buka siang hari misalnya, aturan itu harus ditegakkan. Bila peraturannya jelas, maka takkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bukan mustahil, lanjutnya lagi, upaya menutup restoran secara paksa atau sweeping terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang hanya membuat aturan sebatas jam operasional tempat hiburan. Sebab, pelaksanaannya di lapangan tidak dijalankan secara konsisten.
“Akibatnya timbul ketidakpercayaan, kemudian ada kelompok masyarakat yang beraksi sendiri,” ujarnya. Namun Sukana menegaskan, dia tetap tidak mendukung sikap anarkis.
Menurut dia, yang seharusnya terjadi adalah, pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat maupun organisasi massa sebatas pendorong agar menerapkan aturan yang sudah dibuat. Sebaiknya rangkul masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap penegakan aturan selama Ramadan, sehingga semuanya terkontrol.
Secara terpisah, Pendeta Mori Sihombing, Praeses Distrik VIII HKBP mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen. Karena itu, dia mengharapkan agar ada saling menghargai serta toleransi antarumat beragama.
Termasuk pada Ramadan ini. Dia menyarankan agar masyarakat non muslim pun menghargai hak-hak masyarakat muslim untuk berpuasa. “Hendaknya toleransi ditunjukkan dengan tidak makan minum di tempat umum. Ketika mereka bertandang ke tempat kita, jangan suguhkan makanan dan minuman karena mereka sedang menjalankan ibadah puasa,” ujarnya lagi.
Selain itu, menurut Mori dalam melakukan komunikasi di mana pun janganlah mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan. “Kita harus ikut menjaga hati saudara-saudara kita untuk bisa menjalankan puasa dengan tenang. Jangan sampai kita melukai hati orang,” katanya.
Sejalan dengan itu, Pendeta Mori juga mengharapkan agar umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa bisa menghargai pemeluk agama lain. “Ini diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk ikut tidak makan dan minum, hanya karena mereka sedang berpuasa,” jelasnya.
Karena itu, terkait dengan upaya penutupan paksa restoran misalnya, dia minta agar pemerintah melindungi hak-hak masyarakat termasuk pengusaha. “Harus dilihat pula nasib para pegawainya. Dari mana mereka mendapat gaji bila usahanya ditutup.” tambahnya.
Jadi pada intinya, sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam bersosialisasi di lingkungan kehidupan masyarakat yang heterogen ini. Di antaranya dengan tidak menghentikan usaha masyarakat seperti penutupan paksa tempat makan. Sebab masih banyak masyarakat lain yang membutuhkan tempat usaha tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen Untung S. Rajab telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap tempat hiburan yang melanggar jam operasional. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak perlu, karena sudah dipantau oleh polisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar