Dari kejauhan kupandangi tepi Danau Toba itu. Semua kenangan bersama Cinta seolah terulang kembali. Tanpa kusadari air mataku menetes. Air mata kesedihan itu jatuh membasahi pipiku. Kicauan burung-burung makin riuh terdengar di sela-sela rindangnya pepohonan. Sejenak kepalaku menunduk. Tiba-tiba mataku tertuju pada seekor siput kecil yang berjalan terseok-seok. Mataku terus mengikuti kemana arah perginya siput kecil itu hingga akhirnya hilang dari pandanganku.
Gemuruh ombak yang berkejar-kejaran di Danau mengingatkanku pada Cinta. Teringat saat bercanda, bergurau dan berenang bersamanya. Mendayung sampan berdua layaknya seorang Kakak dengan adik. Dia sudah kuanggap seperti adik kandung sendiri. Dulu, semuanya penuh canda dan tawa. Walau harus mendapat cacian dari Ibu dan Ayah tirinya, namun cinta tetap tegar dan sabar.
Awal pertemuanku dengannya, sungguh menyenangkan dan membahagiakan. Sikap dia yang ramah, sopan, baik, dan juga jujur membuat aku langsung dekat dengannya.
Cinta adalah anak sulung dari dua bersaudara. Dia punya adik perempuan bernama Febby. Namun sayangnya, sejak kecil mereka telah terpisah. Adiknya harus tinggal bersama tantenya. Sedangkan Cinta sendiri tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Hal ini terjadi hanya karena Ibunya menikah lagi.
Kekejaman Ibu dan Ayah tirinya menambah penderitaan dan luka di hatinya. Tiap kali aku datang ke rumahnya, Cinta pasti mendapat cacian dari Ibu dan Ayah tirinya. Kadang aku ikut menangis mendengar cacian yang dilontarkan Ibu dan Ayah tirinya itu.
”Aku pulang dulu ya Dik,” ujarku seraya pamit pulang.
”Ya. Nanti aku datang ke rumah ngerjain tugas ya Kak?,” ucapnya
”Ya. Datang aja,” jawabku.
Kira-kira jam 08.15 Wib, cinta datang ke rumahku sendirian. Begitu sampai di rumahku Cinta langsung menangis.
Aku yang merasa keheranan langsung menanyakannya.
”Kamu kenapa Dik?” tanyaku dengan penasaran.
”Aku dimaki-maki Kak. Udah itu aku diusir Ibu,” tuturnya sambil terisak-isak.
Tadinya aku mengira dia menangis karena diganggu oleh cowok iseng saat melewati jalan raya, namun ternyata dugaanku salah. Ternyata yang membuat dia menangis ialah karena tindakan Ibunya yang memperlakukannya seperti anak tiri.
”Lho...lho...lho kenapa dimarahin?” tanyaku heran.
”Memangnya kerjaan kamu ada yang nggak beres?” tanyaku lagi.
”Bukannya dari tadi kamu kerja di rumah?” ujarku.
”Aku juga nggak tahu aku salah apa Kak. Tiap kali Kakak datang ke rumah pasti aku kena marah. Aku juga dilarang berteman dengan Kakak,” tuturnya.
”Aku nggak tahu harus bagaimana sekarang Kak.
Ayah tiriku juga kejam ,”ujarnya
Penuturan Cinta tentang kekejaman Ibu dan Ayah tirinya seolah membuat aku naik darah. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa kedatanganku ke rumahnya selalu menjadi suatu masalah bagi Ibu dan Ayah tirinya.
Selang beberapa menit kemudian, aku pun bertanya seraya meredam kesedihannya.
”Ada tugas Dik?” tanyaku.
”Ada Kak, Nih tugas Fisika,” jawabnya.
Dengan rasa sabar kuajari dia. Kuberi semangat supaya dia tidak putus asa menghadapi kekejaman Ibu dan Ayah tirinya.
Jam 10.00 Wib akhirnya tugas dia selesai dan dia langsung kuantarkan pulang. Sesampainya di depan rumah, aku mengetuk pintu. Tidak berapa lama kemudian Kakeknya membukakan pintu. Kedatanganku disambut dengan senyuman. Mereka senang karena aku datang ke rumahnya. Aku merasa senang melihat senyuman itu. Namun tiba-tiba rasa senang yang kurasakan itu hilang seketika karena tatapan kebencian dari Ibu dan Ayah tiri Cinta. Tatapan itu tak berlangsung lama karena Ibunya langsung membentak Cinta.
”Dari mana saja kamu? udah larut malam baru pulang ke rumah?”, bentak Ibunya.
”Kamu mau jual diri di luar sana?” tambahnya.
Kakek dan Nenek Cinta hanya bisa terdiam.
“Cinta hanya bisa diam dan diam. Dia menunduk seolah-olah seperti orang yang sedang diadili”.
“Karena terlalu lama diam dan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan kapadanya, Ibunya bertanya lagi”.
“Kenapa kamu diam?” bentak Ibunya lagi.
”Dasar anak yang tak tahu diri!!!” ujar Ibunya.
Karena omongan itu terasa kasar di hatinya, Cinta langsung menjawab.
”Aku nggak seburuk dan sekotor yang Ibu pikirkan,” jelasnya sambil berlinang air mata.
”Aku juga nggak pernah berpikiran kotor untuk menjual diri seperti yang Ibu katakan. Aku ini masih waras dan sadar. Aku juga tahu diri,” tukasnya lagi.
”Dan lagi pula, apa perduli Ibu samaku. Sejak aku kecil Ibu sudah nggak pernah peduli dan bahkan kasih sayang dari seorang Ibu tidak pernah aku rasakan,” tuturnya dengan tangisan yang makin menjadi-jadi.
”Ibu memang kejam!!! Ibu yang tega meninggalkan anaknya sendiri,’ teriaknya dengan keras.
”Ibu lebih memilih untuk menikah lagi daripada mengurus kami,” ujarnya
Tanpa perduli sedikit pun dengan Ibunya, Cinta langsung masuk ke kamarnya. Dari ruang tamu suara tangisannya terdengar jelas.
Aku yang saat itu menyaksikan pertengkaran Cinta dengan Ibunya tanpa sadar ikut menangis. Hatiku terasa teriris sekaligus kasihan melihat keadaan Cinta diperlakukan seperti itu.
”Mengapa ada Ibu yang sekejam itu terhadap anak kandungnya sendiri?” gumamku.Tanpa basa-basi Akhirnya aku pamit pulang kepada Nenek dan Kakek Cinta.
”Hati-hati di jalan ya Nak,” pesannya.
”Besok datang lagi ya? Nggak usah takut dan segan,” tambahnya.
Sesampainya aku di rumah, peristiwa yang baru saja kusaksikan selalu terngiang di pikiranku. Mataku tidak mampu untuk terpejam. Pikiranku terasa tidak tenang. Bayangan Cinta yang sedang menangis seolah menghampiriku.
Jam 02.10 Wib aku baru bisa tertidur.
***
Semalam mimpiku terasa sangat mengerikan sekaligus menyedihkan. Dalam mimpiku itu Cinta meninggal karena bunuh diri. Sehari sebelum dia itu meninggal, dia sempat datang ke rumahku untuk minta maaf dan sebelum pulang dia menciumku.
Dalam mimpi itu aku juga menemukan sebuah surat yang terselip di buku harianku. Kubuka surat itu, dan kubaca perlahan-lahan. Ternyata surat itu ialah surat dari Cinta. Dalam surat itu dia menuliskan ”Kak, maafkan aku karena aku nggak pernah cerita tentang penyakit yang aku derita. Aku sudah nggak sanggup hidup menderita Kak.
Dan satu lagi Kak, tolong sampaikan permohonan maafku kepada Ibu, Ayah juga Kakek dan Nenek. Demikianlah isi suratnya. Aku menangis sejadi-jadinya karena dia nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Setelah aku terbangun, aku baru sadar kalau itu hanya mimpi. Namun dipikiranku jadi muncul pertanyaan ”apakah mimpi itu akan benar-benar terjadi?” gumamku. Namun kudoakan agar mimpi itu tidak menjadi kenyataan.
Sore ini Cinta janji akan datang ke rumahku. Sambil menuggu kedatangan Cinta, aku mendengarkan musik. Tak berapa lama kemudianCinta datang.
”Maaf ya Kak, aku kelamaan?” ujar Cinta yang seolah merasa bersalah karena agak lama datang.
”Nggak apa-apa kok. Kita khan nggak kemana-mana,” jawabku.
”Iya juga sih, Cuma aku khan udah janji kalau datangnya cepat” ujar Cinta sambil tersenyum.
”Ya udah, sekarang mendingan kamu makan dulu. Setelah itu baru kita ngobrol” ujarku.
”Iya, terima kasih Kak” jawabnya.
Selang beberapa menit Cinta siap makan. Dia langsung menghampiriku di ruang tamu. Tiba-tiba dia nanya aku.
”Oya kak, besok kakak ada acara?” tanya Cinta.
”Nggak. Memangnya kenapa Dik?” jawabku.
”gini Kak, besok aku mau ngajakin kakak berenang ke Danau” ujarnya sembari tersenyum.
” Wah...Kebetulan sekali, besok kakak nggak kemana-mana” jawabku semangat.
”Jam berapa?” tanyaku nggak sabaran.
”Jam 07.00 wib Kak” jawabnya.
”Ya udah, besok kakak ikut. Udah lama nih nggak pernah berenang lagi” ujarku.
Setelah agak lama ngobrol, akhirnya Cinta pamit pulang.
”Hati-hati ya Dik” pesanku.
” Ya kak,” jawabnya.
Pagi ini Aku dan Cinta sudah janjian mau pergi berenang ke Danau. Saat aku sedang beres-beresin baju renang, dia datang. Kami bergegas menuju Danau.
Setibanya di tepi Danau itu hatiku sungguh senang sekali. Udah lama aku merindukan suasana kesejukan ini. Danau yang begitu luas membuatku kagum dan takjub. Airnya yang biru bening membuatku tak sabar ingin menceburkan diri. Tanpa banyak ngomong, kami langsung menceburkan diri ke Danau. Tawa dan riang menghiasi pagi itu. Semuanya terasa indah.
Karena begitu asyiknya kami berenang, kami lupa kalau hari sudah sore. Kami harus buru-buru pulang ke rumah, karena takut nanti dimarahin atau dicariin. Sesampainya di depan rumahku, kami berpisah karena dia harus balik ke rumahnya.
”Aku pulang ya Kak? Sampai ketemu di lain waktu” katanya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku merasa aneh dengan jawabannya. Lain waktu itu maksudnya apa? Tidak biasanya dia berkata begitu, pikirku”.
Sudah hampir seminggu aku nggak ketemu dengan Cinta. Tiap aku datang ke rumahnya, aku hanya disambut oleh gonggongan anjingnya.
Saat aku menanyakan keberadaan Cinta kepada tetangganya, mereka juga tidak tahu. Aku makin gusar, perasaanku semakin tak tenang. Hingga akhirnya dua hari kemudian aku mendengar kabar kalau Cinta meninggal. Aku nyaris tidak percaya karena saat terakhir aku berenang bersamanya, dia terlihat sehat.
Untuk memperjelas kebenaran kabar itu, kudatangi rumahnya. Saat aku tiba di depan rumahnya, kulihat karangan bunga yang bertuliskan ”TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA CINTA WULANDARI”. Bulu kuduk-Ku berdiri membaca karangan bunga itu. Berarti benar kalau Cinta sudah meninggal, ” pikirku. Aku tanyakan kepada tetangganya apa penyebab kematian Cinta dan jawabnya ialah karena sakit yaitu penyumbatan pembuluh darah di otak. Oh Tuhan, mengapa Cinta harus menghadapi penderitaan ini sendirian, pikirku dalam hati. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju pintu masuk.
Setibanya di depan pintu masuk, aku tak kuasa menahan tangis. Tubuh mungil Cinta yang dulunya lincah sekarang telah terbujur kaku. Air mataku nyaris tak terbendung.
”Kenapa ini terjadi sama kamu Dik” ujarku dengan terisak-isak.
”Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu itu sakit, kenapa???” tangisku makin menjadi.
Tepat pukul 06.00 wib jenazah Cinta pun dimakamkan. Dari awal hingga waktu pemakamannya mataku tak kuasa menahan tangis. Pertanyaanku yang belum dia jawab kemarin akhirnya terjawab sekarang. Dan mimpi itu juga ternyata menjadi suatu kenyataan yang menyedihkan. Rasanya aku belum bisa menerima semua kenyataan ini. Aku belum siap untuk kehilangan Cinta. Kini semuanya telah terjadi. Karena kematian itu tak bisa ditunda melainkan kehendak Yang Maha Kuasa. Selamat Jalan Cinta, Semoga Engkau diterima di sisi-Nya. Semua kenangan sewaktu bersamamu tidak akan
pernah pupus dari ingatanku. Aku akan senantiasa mengingatkmu walaupun kini engkau telah pergi untuk selamanya**)
Kekejaman Ibu dan Ayah tirinya menambah penderitaan dan luka di hatinya. Tiap kali aku datang ke rumahnya, Cinta pasti mendapat cacian dari Ibu dan Ayah tirinya. Kadang aku ikut menangis mendengar cacian yang dilontarkan Ibu dan Ayah tirinya itu.
”Aku pulang dulu ya Dik,” ujarku seraya pamit pulang.
”Ya. Nanti aku datang ke rumah ngerjain tugas ya Kak?,” ucapnya
”Ya. Datang aja,” jawabku.
Kira-kira jam 08.15 Wib, cinta datang ke rumahku sendirian. Begitu sampai di rumahku Cinta langsung menangis.
Aku yang merasa keheranan langsung menanyakannya.
”Kamu kenapa Dik?” tanyaku dengan penasaran.
”Aku dimaki-maki Kak. Udah itu aku diusir Ibu,” tuturnya sambil terisak-isak.
Tadinya aku mengira dia menangis karena diganggu oleh cowok iseng saat melewati jalan raya, namun ternyata dugaanku salah. Ternyata yang membuat dia menangis ialah karena tindakan Ibunya yang memperlakukannya seperti anak tiri.
”Lho...lho...lho kenapa dimarahin?” tanyaku heran.
”Memangnya kerjaan kamu ada yang nggak beres?” tanyaku lagi.
”Bukannya dari tadi kamu kerja di rumah?” ujarku.
”Aku juga nggak tahu aku salah apa Kak. Tiap kali Kakak datang ke rumah pasti aku kena marah. Aku juga dilarang berteman dengan Kakak,” tuturnya.
”Aku nggak tahu harus bagaimana sekarang Kak.
Ayah tiriku juga kejam ,”ujarnya
Penuturan Cinta tentang kekejaman Ibu dan Ayah tirinya seolah membuat aku naik darah. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa kedatanganku ke rumahnya selalu menjadi suatu masalah bagi Ibu dan Ayah tirinya.
Selang beberapa menit kemudian, aku pun bertanya seraya meredam kesedihannya.
”Ada tugas Dik?” tanyaku.
”Ada Kak, Nih tugas Fisika,” jawabnya.
Dengan rasa sabar kuajari dia. Kuberi semangat supaya dia tidak putus asa menghadapi kekejaman Ibu dan Ayah tirinya.
Jam 10.00 Wib akhirnya tugas dia selesai dan dia langsung kuantarkan pulang. Sesampainya di depan rumah, aku mengetuk pintu. Tidak berapa lama kemudian Kakeknya membukakan pintu. Kedatanganku disambut dengan senyuman. Mereka senang karena aku datang ke rumahnya. Aku merasa senang melihat senyuman itu. Namun tiba-tiba rasa senang yang kurasakan itu hilang seketika karena tatapan kebencian dari Ibu dan Ayah tiri Cinta. Tatapan itu tak berlangsung lama karena Ibunya langsung membentak Cinta.
”Dari mana saja kamu? udah larut malam baru pulang ke rumah?”, bentak Ibunya.
”Kamu mau jual diri di luar sana?” tambahnya.
Kakek dan Nenek Cinta hanya bisa terdiam.
“Cinta hanya bisa diam dan diam. Dia menunduk seolah-olah seperti orang yang sedang diadili”.
“Karena terlalu lama diam dan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan kapadanya, Ibunya bertanya lagi”.
“Kenapa kamu diam?” bentak Ibunya lagi.
”Dasar anak yang tak tahu diri!!!” ujar Ibunya.
Karena omongan itu terasa kasar di hatinya, Cinta langsung menjawab.
”Aku nggak seburuk dan sekotor yang Ibu pikirkan,” jelasnya sambil berlinang air mata.
”Aku juga nggak pernah berpikiran kotor untuk menjual diri seperti yang Ibu katakan. Aku ini masih waras dan sadar. Aku juga tahu diri,” tukasnya lagi.
”Dan lagi pula, apa perduli Ibu samaku. Sejak aku kecil Ibu sudah nggak pernah peduli dan bahkan kasih sayang dari seorang Ibu tidak pernah aku rasakan,” tuturnya dengan tangisan yang makin menjadi-jadi.
”Ibu memang kejam!!! Ibu yang tega meninggalkan anaknya sendiri,’ teriaknya dengan keras.
”Ibu lebih memilih untuk menikah lagi daripada mengurus kami,” ujarnya
Tanpa perduli sedikit pun dengan Ibunya, Cinta langsung masuk ke kamarnya. Dari ruang tamu suara tangisannya terdengar jelas.
Aku yang saat itu menyaksikan pertengkaran Cinta dengan Ibunya tanpa sadar ikut menangis. Hatiku terasa teriris sekaligus kasihan melihat keadaan Cinta diperlakukan seperti itu.
”Mengapa ada Ibu yang sekejam itu terhadap anak kandungnya sendiri?” gumamku.Tanpa basa-basi Akhirnya aku pamit pulang kepada Nenek dan Kakek Cinta.
”Hati-hati di jalan ya Nak,” pesannya.
”Besok datang lagi ya? Nggak usah takut dan segan,” tambahnya.
Sesampainya aku di rumah, peristiwa yang baru saja kusaksikan selalu terngiang di pikiranku. Mataku tidak mampu untuk terpejam. Pikiranku terasa tidak tenang. Bayangan Cinta yang sedang menangis seolah menghampiriku.
Jam 02.10 Wib aku baru bisa tertidur.
***
Semalam mimpiku terasa sangat mengerikan sekaligus menyedihkan. Dalam mimpiku itu Cinta meninggal karena bunuh diri. Sehari sebelum dia itu meninggal, dia sempat datang ke rumahku untuk minta maaf dan sebelum pulang dia menciumku.
Dalam mimpi itu aku juga menemukan sebuah surat yang terselip di buku harianku. Kubuka surat itu, dan kubaca perlahan-lahan. Ternyata surat itu ialah surat dari Cinta. Dalam surat itu dia menuliskan ”Kak, maafkan aku karena aku nggak pernah cerita tentang penyakit yang aku derita. Aku sudah nggak sanggup hidup menderita Kak.
Dan satu lagi Kak, tolong sampaikan permohonan maafku kepada Ibu, Ayah juga Kakek dan Nenek. Demikianlah isi suratnya. Aku menangis sejadi-jadinya karena dia nekat mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Setelah aku terbangun, aku baru sadar kalau itu hanya mimpi. Namun dipikiranku jadi muncul pertanyaan ”apakah mimpi itu akan benar-benar terjadi?” gumamku. Namun kudoakan agar mimpi itu tidak menjadi kenyataan.
Sore ini Cinta janji akan datang ke rumahku. Sambil menuggu kedatangan Cinta, aku mendengarkan musik. Tak berapa lama kemudianCinta datang.
”Maaf ya Kak, aku kelamaan?” ujar Cinta yang seolah merasa bersalah karena agak lama datang.
”Nggak apa-apa kok. Kita khan nggak kemana-mana,” jawabku.
”Iya juga sih, Cuma aku khan udah janji kalau datangnya cepat” ujar Cinta sambil tersenyum.
”Ya udah, sekarang mendingan kamu makan dulu. Setelah itu baru kita ngobrol” ujarku.
”Iya, terima kasih Kak” jawabnya.
Selang beberapa menit Cinta siap makan. Dia langsung menghampiriku di ruang tamu. Tiba-tiba dia nanya aku.
”Oya kak, besok kakak ada acara?” tanya Cinta.
”Nggak. Memangnya kenapa Dik?” jawabku.
”gini Kak, besok aku mau ngajakin kakak berenang ke Danau” ujarnya sembari tersenyum.
” Wah...Kebetulan sekali, besok kakak nggak kemana-mana” jawabku semangat.
”Jam berapa?” tanyaku nggak sabaran.
”Jam 07.00 wib Kak” jawabnya.
”Ya udah, besok kakak ikut. Udah lama nih nggak pernah berenang lagi” ujarku.
Setelah agak lama ngobrol, akhirnya Cinta pamit pulang.
”Hati-hati ya Dik” pesanku.
” Ya kak,” jawabnya.
Pagi ini Aku dan Cinta sudah janjian mau pergi berenang ke Danau. Saat aku sedang beres-beresin baju renang, dia datang. Kami bergegas menuju Danau.
Setibanya di tepi Danau itu hatiku sungguh senang sekali. Udah lama aku merindukan suasana kesejukan ini. Danau yang begitu luas membuatku kagum dan takjub. Airnya yang biru bening membuatku tak sabar ingin menceburkan diri. Tanpa banyak ngomong, kami langsung menceburkan diri ke Danau. Tawa dan riang menghiasi pagi itu. Semuanya terasa indah.
Karena begitu asyiknya kami berenang, kami lupa kalau hari sudah sore. Kami harus buru-buru pulang ke rumah, karena takut nanti dimarahin atau dicariin. Sesampainya di depan rumahku, kami berpisah karena dia harus balik ke rumahnya.
”Aku pulang ya Kak? Sampai ketemu di lain waktu” katanya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku merasa aneh dengan jawabannya. Lain waktu itu maksudnya apa? Tidak biasanya dia berkata begitu, pikirku”.
Sudah hampir seminggu aku nggak ketemu dengan Cinta. Tiap aku datang ke rumahnya, aku hanya disambut oleh gonggongan anjingnya.
Saat aku menanyakan keberadaan Cinta kepada tetangganya, mereka juga tidak tahu. Aku makin gusar, perasaanku semakin tak tenang. Hingga akhirnya dua hari kemudian aku mendengar kabar kalau Cinta meninggal. Aku nyaris tidak percaya karena saat terakhir aku berenang bersamanya, dia terlihat sehat.
Untuk memperjelas kebenaran kabar itu, kudatangi rumahnya. Saat aku tiba di depan rumahnya, kulihat karangan bunga yang bertuliskan ”TURUT BERDUKA CITA ATAS MENINGGALNYA CINTA WULANDARI”. Bulu kuduk-Ku berdiri membaca karangan bunga itu. Berarti benar kalau Cinta sudah meninggal, ” pikirku. Aku tanyakan kepada tetangganya apa penyebab kematian Cinta dan jawabnya ialah karena sakit yaitu penyumbatan pembuluh darah di otak. Oh Tuhan, mengapa Cinta harus menghadapi penderitaan ini sendirian, pikirku dalam hati. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju pintu masuk.
Setibanya di depan pintu masuk, aku tak kuasa menahan tangis. Tubuh mungil Cinta yang dulunya lincah sekarang telah terbujur kaku. Air mataku nyaris tak terbendung.
”Kenapa ini terjadi sama kamu Dik” ujarku dengan terisak-isak.
”Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu itu sakit, kenapa???” tangisku makin menjadi.
Tepat pukul 06.00 wib jenazah Cinta pun dimakamkan. Dari awal hingga waktu pemakamannya mataku tak kuasa menahan tangis. Pertanyaanku yang belum dia jawab kemarin akhirnya terjawab sekarang. Dan mimpi itu juga ternyata menjadi suatu kenyataan yang menyedihkan. Rasanya aku belum bisa menerima semua kenyataan ini. Aku belum siap untuk kehilangan Cinta. Kini semuanya telah terjadi. Karena kematian itu tak bisa ditunda melainkan kehendak Yang Maha Kuasa. Selamat Jalan Cinta, Semoga Engkau diterima di sisi-Nya. Semua kenangan sewaktu bersamamu tidak akan
pernah pupus dari ingatanku. Aku akan senantiasa mengingatkmu walaupun kini engkau telah pergi untuk selamanya**)
PROFIL PENULIS
Nama: Juniar Sinaga (Nurjannah)
Berdomisili di pekanbaru, dan berstatus mahasiswi di Universitas Islam Riau (UIR) jurusan Biologi
Nurjannah itu merupakan nama yang disandangnya setelah oktober 2010 yang lalu resmi menjadi islam.
Berdomisili di pekanbaru, dan berstatus mahasiswi di Universitas Islam Riau (UIR) jurusan Biologi
Nurjannah itu merupakan nama yang disandangnya setelah oktober 2010 yang lalu resmi menjadi islam.
DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/07/cerpen-persahabatan-dan-cinta-pun-pergi.html#ixzz2CffVcIrw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar